Ahad, 30 Disember 2012

Penulisan Al-Qur'an


Penulisan Al-Qur'an Dan Pengumpulannya

Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada tahap ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak

Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud, Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.

Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.

Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan, bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.

Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.

Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan : “Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.

Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya. Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai, Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.

Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu itu”.

Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika Utsman membakah mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”, atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.

Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.

Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.

Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya : Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang. Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah : Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan permusuhan.

Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir. Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.

[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]
__________
Nota
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12


Jumaat, 9 November 2012

Pembaca Al-Quran dapat sokongan Nabi



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته ورضوان


Setengah daripada cara menjaga Al-Quran dalam hati dan menjaga Al-Quran dalam mashaf ialah dengan mengekali membaca dan meneruskan kajiannya.Ini kerana Al-Quran itu bererti "baca".Qurani bererti "baca" , qoro-a "baca" , yaqra-u bererti baca terus-menerus , Quraanan bererti bacaan.
Apabila Allah SWT turunkan sebuah kitab namanya "Quran" yang bererti baca,tiba-tiba ia terbiar di dalam rak almari tanpa dibaca, seolah "Quran" yang tidak "Quran"(bacaan yang tidak di baca.
Sangat ditekan perkara tersebut kerana terutamanya orang A'jam,yang diketahui umum sejak daripada orang kampung biasa,sampai ke tok guru tidak menjadi amalan membaca Al-Quran.
Apa yang menjadi budaya ialah amalan "wirid", apatah lagi jika diberi tahu fadilatnya sesuatu ayat ,maka bertambah rajinlah berwirid.
Tidak serajin itu dan kurang berselera jika disuruh membaca Al-Quran walaupun satu 'ain.Inilah penyakit lama yang diwarisi sejak zaman entah berentah.Tetapi jika ada kematian datang pula kerajinannya untuk membaca Quran(Surah Yasin).
Daripada bacakan untuk orang mati yang tidak mengerti , lebih baik untuk orang hidup kerana itulah tujuan Al-Quran diturunkan supaya mereka mengambil pengajaran daripadanya.
Selain daripada adab membaca Al-Quran serta menjaga adab dan syaratnya, dengan menjaga sungguh-sungguh amalan zahir dan batin yang terdapat dalam al-Quran , semua itu mustahak di sebut dan di terang dengan sepenuhnya.
Sebelum Imam Ghazali menerangkan fadhilat membaca Al-Quran, terlebih dahulu beliau menjelaskan setakat mana  nilai Al-Quran pada pandangan Tuhan .
Nikmat yang paling besar ialah nikmat membaca Al-Quran.Jika manusia melihat nikmat yang lain mengatasi nikmat membaca Al-quran bererti orang itu tidak dapat menilai antara kaca dengan intan permata .
Sabda Rasulullah SAW yang bermaksud:"bahawa sepaling afdal ibadah dikalangan umatku ialah (tilawah) membaca Al-Quran.
Jika dikira ibadah dalam bentuk bacaan seperti membaca hadis, tasbih, zikrullah,tahmid (memuji Allah SWT) maka baca Al-Quran dikira ibadat yang paling afdal sekali.
Bukan dibanding dengan ibadah jenis lain seperti jenis perbuatan umpamanya solat,puasa,haji dan sebagainya boleh jadi ada yang afdal lagi.
Tetapi sekiranya dalam ibadah jenis bacaan , selain daripada membaca Al-Quran tiada yang lebih afdal mengatasinya.
Sesunggunya jika terlalu susah menghafal selawat dan doa-doa ,lebih utama jika membaca Al-Quran.Di dalam Al-Quran sendiri terdapat begitu banyak tasbih , doa-doa , zikrullah dan istighfar.
Contohnya:"Lailaha illa anta inni kuntu minazzolimin" doa ini yang termasyur lagi "Robbana zolamna anfusana wa illam taghfir lana lanakunanna minal k hosirin" ini istighfar Nabi Adam yang termasyur dalam Al-Quran yang kerananya diampun dosanya setelah terkeluar dari syurga.
Berkata Abdullah ibnu Mas'ud:"Kalau kamu berkehendakkan ilmu maka hendaklah kamu sebarkan Al-Quran kepada orang ramai, kerana dalamnya terdapat ilmu-ilmu manusia zaman dahulu kala dan ilmu-ilmu manusia yang akan datang kemudian hari "
Kita sedang memperkatakan tentang kelebihan Al-Quran dan ahli-ahlinya(para perjuangan).Kehidupan sepanjang usia sebagai orang islam bergantung sepenuhnya terhadap  AL-QURAN dan HADIS , jika tiada Al-Quran dan Hadis maka Islam pun tidak wujud di muka dunia ini .
Oleh yang demikian Al-Quran adalah merupakan Al-Kitab pegangan hidup dan disebut sebagai mukjizat yang agung .
Di samping mukjizat seperti nabi-nabi lain yang hanya dapat dilihat oleh manusia yang hidup sezamannya sahaja seperti terbit air dari celah jari Nabi SAW dan sebagainya adapun Al-QUran adalah mukjizat  yang dapat di saksikan oleh mereka yang sezaman dengan Nabi SAW dan manusia selepas wafatnya hingga ke hari kiamat yang manusia tidak boleh tambah setitik atau sehuruf pun.
Pada pendapat Abdullah bin Mas'ud tidak mungkin seseorang mendapat ilmu tanpa mencarinya daripada Al-Quran kerana segala ilmu untuk umat kemudian hanya terdapat di dalam Al-Quran.
Ilmu sebenar yang layak di panggil ilmu hanya ilmu yang terdapat dalam Al-Quranul Karim adapun ilmu yang lain yang hanya diperolehi dengan akal fikiran yang bukan datang dari wahyu Allah SWT.
Begitu juga dinukil beberapa kata-kata orang dahulu oleh seorang alim masyur yang menjadi gabenor pertama bagi Sayyidina Umar r.a yang memerintah Mesir iaitu Amru bin Al-'Ash dengan katanya yang bermaksud : "Mana-mana orang membaca Al-Quran bererti ia mendapat nubuwwah (semangat kenabian) tempias kenabian yang telah dimasukkan di antara dua lambung kiri dan kanan ."
Apa yang di maksudkan orang yang baca al-quran (qari) waktu itu ialah pembaca dan tok guru yang arif mentafsir dan beramal dengan Al-Quran.

Sebagaimana Nabi SAW mendapat wahyu dari langit secara langsung begitu juga pembaca Al-Quran (qari) itu yang sebenar.
Bagaikan mendapat ilmu secara langsung daripada Allah SWT walaupun qari itu bukan nabi tetapi tempias Nubuwwah dapat juga kepadanya .


Ahad, 21 Oktober 2012

BAHASA MATA


BAHASA MATA,SERIBU MAKNA!
 

PEPATAH ADA MENGATAKAN,DARI MATA TURUN KEHATI.UNGKAPAN INI TERHASIL KERANA MATA MERUPAKAN JENDELA JIWA.DENGAN MENATAP MATA SESEORANG,KITA BOLEH MENGETAHUI BANYAK PERKARA TENTANG ORANG TERSEBUT....

Semua perkataan,perbuatan,gerakkan badan dan emosi kita adalah gambaran luaran rohani atau spritual kita.Oleh itu,sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia akan dinilai disisi Allah berdasarkan niat.Dan niat itu pula datangnya dari hati.
Hubungan antara mata dan hati,hubungan yang tidak dapat disembunyikan.Apa saja yang terdetik dihati akan tergambar ditabir mata.Firman Allah:

يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ

Maksudnya:"Dia (Allah)mengetahui(pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati".
(Al-Mukmin Ayat19)

Apa yang dimaksudkan dengan pengkhianatan mata berdasarkan tafsir ialah,mata yang melihat secara haram dan juga mata yang tidak melihat secara langsung tetapi melihat apabila ada kesempatan.
Justeru,islam menyuruh setiap umatnya lelaki mahupun perempuan supaya menjaga pandangan mata.Ini kerana pandangan mata itu sangat luas,merangkumi pandangan sinis atau memperkecilkan orang lain termasuklah pandangan mata yang menjadi sumber perbuatan memfitnah dan mengumpat.Sesungguhnya fitnah yang timbul dari pandangan mata dan suara adalah sama-sama bahaya.Dari mata akan timbul difikiran cantik buruk sesuatu perkara.Jika buruk apa yang dilihat,maka keluarlah dari mulut perkara-perkara yang tidak enak didengar.Begitu jugalah jika disebaliknya.Oleh itu menjaga pandangan mata disisi islam adalah amat penting.Larangan tegah dalam menjaga pandangan mata turut dapat dibuktikan dengan kisah Rasulullah.
Dikisahkan,ada diantara seorang Quraisy bernama Abdullah bin Abi Sarh,seorang yang pernah memeluk islam.Oleh kerana kebaikkan dan kecerdasannya,Nabi S.A.W mengangkatnya menjadi penulis wahyu.Sayangnya,baru menulis beberapa ayat dari Al-Quran,dia murtad dan melarikan diri ke Mekah.
Di Mekah,dia membocorkan segala rahsia pertahanan Madinah hingga mencetuskan peperangan dikalangan penduduk Madinah.Maka ketika terjadi Fathul Makkah, Rasulullah memerintahkan,"Sesiapa yang bertemu dengan Abdullah Bin Abi Sarh,dimana pun dia bahkan meskipun bergantung diatas Kaabah,bunuh!".Ini kerana dosanya tidak dapat diampunkan dan kesalahannya terhadap kaum muslimin terlalu besar untuk dimaafkan.
Setelah beberapa waktu,Abdullah Bin Abi Sarh pulang ke Madinah dan meminta pertolongan saudara susunya,Uthman Bin Affan R.A untuk berjumpa dengan Rasulullah S.A.W dan mengharapkan baginda memaafkannya.Lalu dibawa  Abdullah berjumpa dengan Rasulullah yang sedang bersama-sama sahabat yang lain dan memohon agar Baginda Rasulullah memaafkan Abdullah.Setelah sekian lama Rasulullah mendiamkan diri dan menundukkan kepala,akhirnya Baginda mengatakan 'Ya'. 
Lalu , Uthman bergegas membawa Abdullah bin Abi Sarh ke tempat yang aman . Setelah itu , Rasulullah bersabda , "Andai saja tadi ada di antara kalian yang maju dan memenggalnya , sesungguhnya aku telah berdiam lama agar ada di antara kalian yang maju dan memukul tengkuknya ." Salah seorang dari kaum Ansar berkata , "Kenapa engkau tidak memberi isyarat kepada kami ya Rasulullah?" Rasulullah bersabda , "Sesungguhnya seorang nabi tidaklah berkhianat meski hanya dengan isyarat mata!"
Rasulullah s.a.w juga bersabda , "Pandangan itu panah yang beracun dari panah-panah iblis . Oleh itu , barang siapa yang meninggalkan pandangan kerana takut akan seksaan Allah maka ia akan memperolehi kemanisan iman dalam hatinya".Oleh itu,menjaga pandangan mata merupakan kunci keselamatan diri agar iman tidak runtuh dan diri terpelihara dari hasutan syaitan yang tidak pernah berputus asa untuk menyesatkan umat Adam.
Kita sedar,menahan pandangan mata suatu perkara yang amat berat,tetapi hasil dari itu adalah kenikmatan islam yang tiada tara.Menjaga pandangan mata adalah sebahagian dari sifat muqarabah yang akan menjamin kebahagian seseorang hamba didunia dan juga di Akhirat.Sesungguhnya menjaga pandangan mata itu,adalah pencegahan pertama agar hati dan iman terpeihara.Semoga kita diberikan kekuatan oleh Allah Subhanallahu Ta 'ala supaya dapat menjaga pandangan dan diberikan hati yang bersih serta iman yang kuat.
Insya Allah.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

Selasa, 25 September 2012

TAATI ORANG TUA DAN SUAMI


Antara Berbakti Kepada Orangtua dan Taat Kepada Suami



Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah k berfirman:
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi n bersabda dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”
Dari Abu Hurairah z dari Nabi n, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5
Dalam Al-Musnad dari Anas z bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi n, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa z, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ n فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi n, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah n bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi n.
Zaid bin Tsabit z berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah k:
ﮉ  ﮊ  ﮋ  ﮌﮍ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab z berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi n, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah  l dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah l dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban z, ia berkata, “Rasulullah  bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah l, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah  l dan Rasul-Nya n perintahkan atau yang dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya n untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah l perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah l larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi n bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah l, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah  l dan Rasul-Nya n, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383). Wallahu a’lam bish-shawab.

1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah z, ia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan kepada Rasulullah n: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani t dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani t dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima’. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir t dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”

KREDIT2; asysyariah

Ahad, 2 September 2012

KEWAJIPAN MENYAMPAIKAN ILMU



WAJIB MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA DAN KELEBIHANNYA

Firman Allah Taala, maksudnya: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari keterangan-keterangan dan pertunjuk hidayat, sesudah Kami menerangkannya kepada manusia di dalam kitab suci,  mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh sekalian makhluk. " (159, Surah Al-Baqarah).

"Dan (ingatlah!) ketika Allah mengambil perjanjian setia daripada orang-orang yang telah diberikan kitab, iaitu: Demi sesungguhnya hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada umat manusia dan jangan sekali-kali kamu menyembunyikannya .." (187, Surah Ali Imran).

Hadis Kedua Puluh Tujuh
27- عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ. (البخاري ومسلم)
27 - Dari Abi Bakrah r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Hendaklah orang yang hadir (mendengar hadis ku) menyampaikannya kepada orang-orang tidak hadir kerana sesungguhnya diharap orang yang disampaikan hadis itu kepadanya lebih hafaz dan lebih faham daripada yang menyampaikannya.

(Bukhari dan Muslim)

Hadis yang kedua puluh tujuh ini menerangkan bahawa:

(1) Soal menyampaikan ilmu agama adalah menjadi tugas kepada setiap orang yang mengetahuinya.

(2) Orang yang disampaikan kepadanya sesuatu ilmu agama,  boleh jadi ia lebih faham dari orang yang menyampaikannya.

Huraiannya:

1 - Soal menyampaikan ilmu agama: 
Agama Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia dan segala bangsa dan dalam setiap masa,  turun temurun hingga hari qiamat. Untuk meneruskan perkembangan Islam dalam segala tempat dan segala zaman itu, Nabi Muhammad s.a.w. , meninggalkan pesannya yang berupa perintah supaya tiap-tiap orang yang mendengar hadis Baginda dan ajaran-ajaran yang dibawanya, menyampaikannya kepada orang yang belum mendengarnya.

Dengan itu nyatalah bahawa tugas menyampaikan sesuatu hadis atau sesuatu hukum agama bukanlah tertentu kepada seseorang dengan jalan dilantik, tetapi dengan sendirinya menjadi kewajipan sesiapa jua yang menghadiri mana-mana majlis pelajaran agama, atau hadis Nabi,  atau hukum-hukum Islam,  menyampaikannya kepada orang-orang yang tidak hadir bersama,  dengan sungguh-sungguh jujur dan amanah. 

Demikianlah seterusnya dari seorang kepada yang lain, masing-masing menjalankan tugas menyampaikan ajaran-ajaran Islam,  walaupun orang yang menyampaikan itu sendiri tidak begitu faham akan maksud hadis atau hukum yang hendak disampaikannya itu.

2 - Kewajipan orang yang disampaikan kepadanya sesuatu ilmu agama:
Orang yang disampaikan kepadanya pelajaran itu, wajib menerimanya. Tentang soal memahami maksud hadis atau hukum yang diterimanya, maka ia tidaklah terikat dengan fahaman orang yang menyampaikannya, bahkan ia boleh menyatakan fahamannya dengan berdasarkan kaedah yang tertentu dalam ilmu agama.

Pendeknya orang yang menyampaikan sesuatu hadis atau sesuatu ilmu agama dan Rasulullah s.a.w. boleh diterima daripadanya walaupun orang itu tidak begitu faham akan hadis atau ilmu yang disampaikannya; dan ia akan beroleh pahala dengan usaha penyampaiannya itu serta dikira dan golongan ahli agama.

Hadis Kedua Puluh Lapan
28- عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ. (البخاري والترمذي)
28 - Dari Abdullah bin 'Amr ra., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sampaikanlah (apa yang kamu dapat) dari ku walau satu ayat sekalipun; dan ceritakanlah (apa yang sampai kepada kamu) darihal Bani Israel dan (dalam pada itu) tidak ada salahnya (kalau kamu tidak ceritakan). Dan (ingatlah!) sesiapa yang berdusta terhadapku dengan sengaja,  maka hendaklah ia menyediakan tempatnya dalam neraka. 

(Bukhari dan Tirmizi)

Hadis yang kedua puluh lapan ini menerangkan bahawa:

(1) Ilmu agama,  walau sedikit sekalipun, wajib juga disampaikan.

(2) Kisah-kisah Bani Israel boleh diceritakan.

(3) Balasan buruk bagi orang yang berbuat dusta terhadap Rasulullah s.a.w.

Huraiannya:

1 - Soal menyampaikan ilmu agama:
Ilmu agama tidak harus sama sekali disembunyikan, bahkan tiap-tiap seorang yang mengetahuinya wajib menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahuinya walau pun ilmu itu hanya satu ayat dan Al-Qur'an atau satu hadis atau satu hukum. Dengan itu akan tersebarlah ilmu pengetahuan dan hukum-hukum Islam kepada seluruh umat manusia sebagaimana yang ditugaskan kepada Rasulullah s.a.w. dan umatnya.

2 - Kisah-kisah Bani Israel: 

Kisah-kisah Bani Israel tidak salah diceritakan, asalkan kisah-kisah itu tidak diyakini dustanya. Itu pun mana-mana yang mengandungi pengajaran dan mendatangkan iktibar, seperti kisah kaum yang diperintahkan membunuh diri untuk bertaubat dan dosa mereka menyembah patung anak lembu, dan kisah kaum yang telah diubah keadaan mereka kepada keadaan monyet dan babi kerana kesalahan mereka melanggar perintah dengan melakukan tipu helah.

3 - Balasan berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad S.A.W. 

Dalam hal menyampaikan apa yang datang dari Rasulullah s.a.w., tiap-tiap seorang hendaklah berhati-hati supaya ia tidak melakukan sesuatu yang dusta terhadap Baginda dengan mengatakan perkara yang disampaikannya itu berpunca dari Baginda pada hal yang sebenarnya tidak demikian.

Memperkatakan sesuatu yang dusta terhadap Baginda amat buruk kesannya kepada ajaran dan hukum-hukum Allah yang dibawa oleh Baginda. Oleh itu sesiapa yang sengaja melakukan perkara yang demikian maka berhaklah ia menerima azab seksa yang dijanjikan oleh Baginda dalam hadisnya ini.

Al-Ubbi, ahli hadis yang terkenal pensyarah kitab Sahih Muslim mengingatkan dengan berkata:  perkara yang hampir kepada dusta atau yang berupa dusta,  ialah memperkatakan kalimah-kalimah dalam hadis Nabi dengan sebutan yang salah (yang tidak menurut kaedah Bahasa!Arab); oleh itu, maka tiap-tiap seorang yang beriman hendaklah berjaga-jaga dengan bersungguh-sungguh mengenai hal yang tersebut. Demikianlah juga diperingatkan oleh Imam Nawawi. Al-Ubbi berkata lagi: Sebagai bukti tentang apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam hal ini, ialah apa yang telah disalinkan oleh Ibnu Al-Salah dan Al-Asma'i yang pernah mengatakan: "Bahawa perkara yang sangat dibimbangkan terhadap seseorang penuntut ilmu hadis apabila ia tidak mengetahui ilmu Bahasa Arab, akan termasuk (di antara orang-orang) yang dimaksudkan oleh Nabi s.a.w. (sesiapa yang berdusta terhadapku dengan sengaja,  maka hendaklah ia menyediakan tempatnya di dalam neraka), kerana Baginda tidak pernah menuturkan sabdanya dengan cara yang salah pada kaedah-kaedah Bahasa Arab, maka pada bila-bila masa sahaja engkau meriwayatkan hadis dan Baginda dan engkau menyebutnya dengan cara yang salah, bermakna engkau berdusta terhadap Baginda!".

Dengan yang demikian - kata Ibnu Al-Salah lagi - adalah menjadi tanggungan seseorang penuntut hadis untuk mempelajari Nahu dan ilmu bahasa Arab sekadar yang dapat menyelamatkan dirinya dari perbuatan menuturkan hadis-hadis dengan cara yang salah dan dari merosakkan maksudnya yang sebenar serta dari akibatnya yang buruk. 

Bagi pembaca-pembaca hadis Rasulullah s.a.w., hendaklah mereka menerima bacaan Hadis itu dari mulut ahli ilmu hadis yang menjaga dan memelihara sebutannya dengan betul, 

Hadis Kedua Puluh Sembilan
29- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (أبو داود والترمذي)
29- Dari Abu Hurairah, r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesiapa yang ditanyakan kepadanya mengenai sesuatu ilmu (agama), lalu ia menyembunyikannya nescaya Allah mengekang mulutnya dengan kekang dari api neraka,  pada hari qiamat kelak."

( Abu Daud dan Tirmizi)

Hadis yang kedua puluh sembilan ini menerangkan tentang:

Balasan yang seburuk-buruknya bagi orang yang menyembunyikan ilmu agama.
Huraiannya:

Sebagaimana yang sedia diketahui, bahawa soal menyampaikan ilmu agama adalah suatu perintah yang ditetapkan oleh Allah Taala dan Rasul Nya Nabi Muhammad s.a.w. , .iaitu tiap-tiap seorang yang mengetahui sesuatu masalah agama,  dituntut menyampaikannya kepada orang lain, sebagaimana ia dituntut mengamalkannya untuk kebaikan dirinya sendiri, kerana tujuan ilmu agama itu dipelajari ialah untuk diamalkan dan mendatangkan faedah,  sama ada kepada diri sendiri atau kepada orang lain.

Oleh itu, sesiapa yang menyembunyikan sesuatu masalah agama,  atau tidak mahu menyebarkannya atau menerangkannya kepada orang yang bertanyakan masalah itu kepadanya, sudah tentu ia menentang perintah Allah dan Rasul-Nya dan menentang tujuan ilmu yang ada padanya. Dengan yang demikian, sudah sepatutnya ia dikenakan azab seksa yang seberat-beratnya sebagaimana yang tersebut dalam Hadis ini.

Berdasarkan hadis yang tersebut dan juga Hadis-hadis yang lain yang berhubung dengannya, alim ulama membuat kesimpulan bahawa orang yang ditanyakan kepadanya sesuatu masalah agama, wajiblah ia menerangkannya, dengan syarat: 

Pertama - Orang yang bertanya itu berhak mengetahui masalah yang ditanyakan;

Kedua - Masalah yang ditanyakan itu dari perkara-perkara "fardu ain" kepadanya!

Hadis Ketiga Puluh
30- عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. (البخاري ومسلم والترمذي)
30 - Dari Ibnu Mas'ud, r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tidak digalakkan adanya perasaan iri hati melainkan kepada dua keadaan:  (Pertama) keadaan orang yang dikurniakan Allah harta benda, serta menjadikannya menguasai dirinya menghabiskan hartanya itu pada perkara kebajikan yang sebenar-benarnya; dan (kedua) keadaan orang yang dikurniakan Allah ilmu pengetahuan agama, lalu ia beramal dengannya dan mengajarkannya."

(Bukhari, Muslim dan Tirmizi)

Hadis yang ketiga puluh ini menerangkan tentang:

Dua Kelebihan yang sangat-sangat digalakkan beriri hati kepadanya.
Huraiannya:

Nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada hambanya amatlah banyak,  tidak terhitung. Di antaranya dua perkara yang sangat tinggi nilainya dan besar kelebihannya untuk mencapai keredhaan Allah Taala.

Yang pertama - nikmat pemberian harta benda kepada seseorang yang dapat menguasai dirinya dan berjaya mengalahkan perasaan tamak halubanya, sehingga dapatlah ia membelanjakan hartanya itu pada perkara kebajikan yang sebenar-benarnya, bukan membelanjakannya dengan cara membazir atau kerana riak atau kerana menurut kemahuan nafsunya semata-mata.

Kedua - nikmat pemberian ilmu pengetahuan agama kepada seseorang yang menyedari tugasnya, lalu menggunakan ilmunya itu untuk mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.

Rasulullah s.a.w. menerangkan dalam hadis ini: Bahawa dua nikmat pemberian yang tersebut amatlah besar kelebihannya sehingga mustahaklah tiap-tiap seorang beriri hati dan berusaha dengan bersungguh-sungguh semoga Allah mengurniakannya nikmat-nikmat itu supaya dapatlah ia menggunakannya menurut cara yang sebaik-baiknya seperti yang digunakan oleh dua orang yang tersebut.

Dengan berlakunya keadaan yang demikian, maka sempurnalah kebaikan seseorang meliputi jasmaninya dan rohaninya.

Hadis Ketiga Puluh Satu
31- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا. (مسلم وأبو داود والترمذي)
31 -Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesiapa yang mengajak ke jalan mengerjakan sesuatu amal yang baik,  adalah baginya pahala sebanyak pahala orang-orang yang menurutnya, dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala itu dari pahala-pahala mereka; dan (sebaliknya) sesiapa yang mengajak ke jalan mengerjakan sesuatu amal yang menyesatkan,  adalah ia menanggung dosa sebanyak dosa orang-orang yang menurutnya, dengan tidak mengurangi sedikit pun dosa itu dan dosa-dosa mereka."

(Muslim, Abu Daud dan Tirmizi)

Hadis yang ketiga puluh satu ini menerangkan: 

Kelebihan orang yang mengajak mengerjakan amal yang baik dan sebaliknya.
Huraiannya:
Sesuatu amal kebajikan, atau sesuatu perkara yang menyesatkan,  banyak juga dilakukan orang dengan sebab ajakan atau pimpinan atau pun arahan orang lain. Demikian pula orang yang mengajak itu, banyak juga dapat menarik orang-orang melakukan perkara-perkara yang disebarkannya itu sama ada baik atau buruk. 

Oleh itu, sesiapa yang mengajak melakukan sesuatu perkara, maka ia adalah bertanggungjawab terhadap perkara itu.

Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w. menegaskan bahawa setiap orang yang mengajak ke jalan mengerjakan sesuatu amal salih, sama ada amal itu kecil atau besar,  maka ia diberi pahala sebanyak pahala yang didapati oleh orang yang menurut ajakannya, kerana dialah yang berusaha menyebabkan amal yang baik itu tersebar dikerjakan orang.

Sebaliknya, sesiapa yang mengajak ke jalan melakukan sesuatu amalan sesat,  maka ia akan menanggung dosa,  sebanyak dosa yang ditanggung oleh orang-orang yang menurut ajakannya, kerana dialah yang berusaha menyebabkan perkara yang menyesatkan itu tersebar dilakukan orang.

Demikianlah besarnya kelebihan dan kebaikan yang akan didapati oleh orang-orang yang mengajak, memimpin, menunjuk dan menyebabkan berlakunya sesuatu amalan yang diredhai Allah;  dan sebaliknya amatlah besar padahnya bagi orang-orang yang menyebabkan berlakunya sebarang perkara yang dimurkai Allah `Azza wa Jalla.

Hadis Ketiga Puluh Dua

32- عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ. (الترمذي وأبو داود)
32 - Dari Zaid bin Thabit r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Semoga Allah menyerikan wajah dan memperelokkan keadaan orang yang mendengar dari kami sebarang hadis lalu ia memeliharanya (dengan ingatannya atau dengan tulisannya), supaya ia dapat menyampaikannya (kepada orang lain); - kerana boleh jadi ada pembawa sesuatu hadis hukum kepada orang yang lebih faham daripadanya dan boleh jadi juga pembawa sesuatu hadis hukum itu, ia sendiri bukanlah seorang yang memahaminya."(Tirmizi dan Abu Daud)

Hadis yang ketiga puluh dua ini menerangkan tentang:

(1) Kelebihan orang yang berkhidmat memelihara hadis-hadis Rasulullah s.a.w.

(2) Orang yang menyampaikan hadis disyaratkan "Hafaznya" tidak disyaratkan "Fahamnya".

Huraiannya;

(1) Kelebihan orang yang berkhidmat memelihara Hadis-hadis Nabi S.A.W.
Orang-orang yang memelihara hadis-hadis Rasulullah s.a.w. amatlah besar jasanya! Apabila mendengar sesebuah hadis,  mereka menghafaznya atau menulisnya dengan cermat,  kemudian mereka menghebahkannya dengan sepenuh tanggungjawab.  Ini bermakna mereka bekerjasama dengan Rasulullah s.a.w. menunaikan kewajipan dalam hal mengembangkan agama Islam yang dibawa oleh Baginda. Dengan yang demikian, sudah selayaknya perkhidmatan mereka mendapat balasan yang sebaik-baiknya.

Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w menegaskan bahawa perkhidmatan mereka dihargai oleh Baginda dengan mendoakan semoga Allah Taala menyerikan wajah mereka dan menjadikan mereka berpuas hati dengan nikmat-nikmat yang dikurniakan kepada mereka di dunia dan di akhirat.

(2) Orang yang menyampaikan hadis disyaratkan menghafaznya dan memeliharanya betul-betul, tidak disyaratkan memahaminya.
Hadis-hadis Rasulullah s.a.w. hendaklah disebarkan. Apa yang mesti disebarkan itu ialah kata-kata yang disabdakan oleh Baginda.

Ada pun tentang makna maksud hadis-hadis itu, terpulanglah kepada masing-masing memahaminya, kerana boleh jadi orang yang menyampaikan sesebuah hadis itu tidak memahaminya atau kurang mendalaminya, meskipun demikian, ia berkewajipan juga menyebarkannya. Dalam pada itu, boleh jadi orang yang disampaikan kepadanya itu boleh memahami lebih mendalam dari orang yang menyampaikannya.

kredit 2: ISLAM GRID

Selasa, 14 Ogos 2012

Doa-doa Di Akhir Bulan Ramadhan



Doa-doa Di 10 Malam Terakhir Bulan Ramadhan 


Diriwayatkan dari Saidatina Aisyah r.a. yang menceritakan: 

“Aku bertanya Rasulullah s.a.w.; ‘Ya Rasulullah, jika aku menemui lailatul-Qadar (malam al-Qadar) apakah doa paling baik untuk aku ucapkan?’ Jawab Rasulullah; ‘Kamu bacalah doa (yg bermaksud); “Ya Allah, ya Tuhanku! Sesungguhnya Engkau adalah Tuhan yang maha pemaaf. Engkau suka memaafkan (dosa hamba-hamba-Mu). Maka maafkanlah daku (yakni ampunkanlah dosa-dosaku).” (Riwayat Imam at-Tirmizi)
Nabi Muhammad s.a.w pernah bersabda: 
“Permulaan Ramadan itu adalah rahmat, pertengahannya adalah keampunan (maghrifah) dan penghujungnya adalah kebebasan dari api neraka”
Kita sekarang berada di fasa terakhir Ramadan dan 10 malam akhir Ramadan ini adalah fasa pembebasan daripada api neraka dan “puasa itu adalah perisai” yang menghalang pelakunya daripada memasuki neraka. Seperti yang kita maklum, di 10 malam terakhir ini juga terdapat 1 malam yang sangat istimewa iaitu malam Lailatul Qadar.

Hanya ibadah puasa Ramadan yang dipecahkan kepada 3 bahagian iaitu fasa rahmat, keampunan dan kemerdekaan daripada neraka semata-mata kerana Allah s.w.t. ingin membesarkan pahala Ramadan. Subhanallah. Semoga kita dapat memanfaatkan setiap fasa yang telah kita lalui sepanjang Ramadan tahun ini. 

“Sesungguhnya amalan-amalan itu terletak pada penghabisannya” (Hadis Riwayat Bukhari)
Oleh itu marilah kita tingkatkan dan tambahkan ibadat di 10 akhir Ramadan. Bersamalah kita mengisikan 10 hari terakhir ini dengan melebihkan ketakwaan dan menjaga ibadat puasa Ramadan. Mari perkemaskan ibadah puasa di 10 hari terakhir ini dan tutuplah kecuaian yang berlaku dalam puasa 20 hari yang lepas dengan menambahkan amalan-amalan sunat selain amalan fardu seperti solat,  bersedekah dan membaca Al-quran. Bersamalah kita mencari Lailatul Qadar. 

Bagi mencari malam Lailatul Qadar, ada baiknya kita membaca Doa lailatul-Qadar ini pd setiap malam di 10 malam terakhir Ramadan kerana dengan membacanya pada setiap malam, pastinya salah satu doa kita akan bertemu malam al-Qadar sekalipun tanpa kita menyedarinya. 

Sabda Rasulullah, 

“Sesungguhnya bagi orang berpuasa -ketika berbukanya- doa yang tidak akan ditolak.” (Riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin 'Amru bin al-'As)
Di samping itu, kita perbanyakkan berdoa dengan doa-doa 10 malam terakhir Ramadan. Bersama entri kali ini, mari berkongsi juga doa-doa 10 malam terakhir untuk kita sama-sama membacanya dan mendapat syafaat daripada Allah SWT .

Doa hari ke-21 

Ya Allah! Berilah aku petunjuk menuju kepada keredhaanMu. Dan janganlah Engkau beri jalan kepada syaitan untuk menguasaiku. Jadikanlah syurga bagiku sebagai tempat tinggal dan peristirahatan, wahai pemenuh keperluan orang- orang yang meminta. 

Doa hari ke-22 

Ya Allah! Bukakanlah bagiku pintu-pintu kurniaMu, turunkan untukku berkah-berkah Mu. Berilah kemampuan untuk ku kepada penyebab-penyebab keredhaanMu, dan tempatkanlah aku di dalam syurgaMu yang luas, wahai penjawab doa orang-orang yang dalam kesempitan. 

Doa hari ke-23 

Ya Allah! Sucikanlah aku dari dosa-dosa, dan bersihkanlah diriku dari segala aib. Tanamkanlah ketaqwaan di dalam hatiku, wahai penghapus kesalahan orang-orang yang berdosa. 

Doa hari ke-24 

Ya Allah! Aku memohon kepadaMu hal-hal yang mendatangkan keredhaanMu, dan aku berlindung dengan-Mu dan hal-hal yang mendatangkan kemarahanMu, dan aku memohon kepadaMu kemampuan untuk mentaatiMu serta menghindari kemaksiatan terhadapMu, wahai pemberi para peminta. 

Doa hari ke-25 

Ya Allah! Jadikanlah aku orang-.orang yang menyintai auliyaMu dan memusuhi musuh-musuhMu. Jadikanlah aku pengikut sunnah-sunnah penutup nabiMu, wahai penjaga hati para nabi. 

Doa hari ke-26 

Ya Allah! Jadikanlah usaha ku sebagai usaha yang disyukuri, dan dosa-dosa ku diampuni, amal perbuatan ku diterima, dan seluruh aib ku ditutupi, wahai maha pendengar dan semua yang mendengar. 

Doa hari ke-27 

Ya Allah! Rezekikanlah kepadaku keutamaan lailatul qadar, dan ubahlah perkara-perkara ku yang sulit menjadi mudah. Terimalah permintaan maafku, dan hapuskanlah dosa dan kesalahanku, wahai yang maha penyayang terhadap hamba- hambaNya yang soleh. 

Doa hari ke-28 

Ya Allah! Penuhkanlah hidupku dengan amalan-amalan sunnah, dan muliakanlah aku dengan terkabulnya semua permintaan. Dekatkanlah perantaraanku kepadaMu di antara semua perantara, wahai yang tidak tersibukkan oleh permintaan orang-orang yang meminta. 

Doa hari ke-29 

Ya Allah! Liputilah aku dengan rahmat dan berikanlah kepadaku taufiq dan penjagaan. Sucikanlah hatiku dan noda-noda fitnah wahai pengasih terhadap hamba-hambaNya yang mukmin. 

Doa hari ke-30 

Ya Allah! Jadikanlah puasa ku disertai dengan syukur dan penerima di atas jalan keredhaanMu dan keredhaan rasul. Cabang-cabangnya kukuh dan kuat berkat pokok-pokoknya, 

Akhir sekali terimalah hakikat kefarduan ibadat puasa Ramadan dan ikhlaskan hati dalam melakukannya semata-mata kerana Allah s.w.t. Semoga perkongsian ini dapat menambah kekuatan kita dalam menjalani ibadah dengan penuh keinsafan. InsyaAllah.

KREDIT 2: USTAZ COMBADIA

Ahad, 12 Ogos 2012

ALLAH MENYAYANGI MU

Sejak akhir-akhir ini, seorang teman rapat pernah mengadu kepada saya, mengapa dirinya tidak habis-habis ditimpa musibah dan masalah yang cukup berat didalam kehidupan beliau.

Memang hidup ini tidak akan pernah sunyi dari setiap dugaan dan ujian. Apa yang boleh saya katakan, sebagai umat Islam seharusnya kita yakin sesungguhnya setiap cabaran dan ujian hidup itu adalah bukti kasih sayang Allah terhadap kita.

Berdasarkan dalil daripada ayat 15-17, surah al-Fijr, kita harus fahami bahawa setiap kenikmatan dan kelapangan yang diberikan itu BUKAN bermakna Allah telah memberikan kemuliaan. Dan setiap orang yang diberikan ujian dan cubaan itu BUKAN bererti Allah telah menghinakannya.

Ibnu Qayyim dalam mensyarahkan dalil daripada ayat-ayat tersebut menyatakan golongan pertama itu sebenarnya telah diuji dengan beberapa kenikmatan dan golongan yang kedua itu pula telah dimuliakan dengan diberinya cubaan dan ujian.

Apa yang penting bersabar dan bermuhasabahlah selalu kepada Allah swt. Setiap orang yang beriman pasti akan menerima cubaan. Yang pasti, setiap ujian itu akan sentiasa kita alami sepanjang hayat, cuma tahap dan bentuknya mungkin berbeza-beza.

Sebagaimana yang diriwayatkan dari sebuah hadis,

Saad bin Abi Waqqas pernah bertanya kepada Rasulullah saw., Siapakah orang yang paling berat cubaannya ?

Jawab baginda, Di antara orang-orang  yang paling berat cubaannya ialah para nabi, kemudian mereka yang seumpama dan seterusnya. Seseorang itu diuji sesuai dengan kadar agamanya. Jika dia mempunyai kekuatan dalam agamanya, maka beratlah ujian yang diterimanya. Sekira agamanya lemah, tentu dia akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Ujian akan selalu datang menimpa seorang hamba selagi dia masih berpijak di atas bumi, dan sehingga tiada lagi kesalahan padanya.

(Riwayat Tirmizi)


Setiap kali diuji, walau seberat manapun cabarannya, ketahuilah... ianya akan menjadi kayu pengukur yang menentukan keteguhan iman seseorang. Pelbagai ujian dan dugaan yang diterima itu, adalah bukti kasih sayang pencipta terhadap hambaNya. Dan juga untuk memastikan kita semua memiliki iman yang lebih kuat selepas berjaya menempuhnya dengan penuh kesabaran. 

Imam Ghazali ada menulis di dalam kitabnya Mukasyafah Al Qulub,Sesungguhnya bala merupakan pelita bagi orang arif, menyedarkan orang murtad, memperbaiki orang mukmin dan menghancurkan orang yang lupa. Tidak seorang pun akan mendapat manisnya iman sebelum dia ditimpa bala, rela dan bersabar.

Selain bersabar. Apa yang paling penting ingatlah Allah dan berdoalah selalu. Doa itu adalah ubat yang paling mujarab. Menurut Ibn Qayyim di dalam kitabnya Ad Da Wad Dawaa, Doa adalah musuh segala bencana. Ianya dapat menolak malah dapat menghilangkannya. Ataupun sekurang-kurangnya doa itu akan dapat meringankan segala bentuk musibah yang datang.

Sesungguhnya berdoa itu adalah senjata orang mukmin. Sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam kitab sahihnya yang berasal dari Ali bin Abi Talib ra., sabda Rasulullah saw,

Doa adalah senjata orang mukmin, tiang agama dan cahaya langit serta bumi. 


Akhir sekali, cuba baca perlahan-lahan dan hayatilah sabda Rasulullah saw dibawah yang maksudnya cukup indah dan mendalam sekali. Semoga ianya serba sedikit boleh menjadi penawar ataupun sekurang-kurangnya memberi sedikit suntikan kekuatan untuk kita di dalam menempuh apa saja ujian yang datang.

Janji Allah dalam sabda Rasulullah saw,

Tiada seorang Muslim pun yang ditimpa sesuatu yang menyakitkan berupa penyakit atau lainnya, melainkan kerananya Allah akan menghapuskan keburukan-keburukannya sebagaimana pohon yang menggugurkan daun-daunnya.

(Hadis Riwayat Bukhari)


Semoga kita semua sentiasa bersabar, mengingati Allah dan berdoa selalu di dalam menghadapi apa saja bentuk ujian yang mendatang.

PERCAYALAH sesungguhnya Allah menyayangimu

RIYA’ – Syirik yang terkecil


Riya’ – Syirik yang terkecil


Menunjuk-nunjuk adalah antara perangai manusia yang sukar dikesan dengan pancaindera luaran , melainkan mudah dikesan dengan pancaindera dalaman (hati). Walaupun begitu kita tidak digalakkan untuk memandang buruk kepada orang lain dan menuduhnya riya’, bahkan kita sendiri yang mesti memperingati diri kita agar JANGAN bersikap riya’ dalam apa soal pun terutamanya dalam hal-hal agama dan amal ibadat.

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat.  (Iaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.  orang-orang yang berbuat riya’.” Surah Al maa’un : Ayat 4 – 6

Riya’ berasal dari perkataan arab iaitu ‘ro’a’ yang bermaksud melihat. Maka riya’ pula bermakna memperlihatkan.  Dan dalam istilah Islam pula bermakna menunjuk-nunjuk dalam melakukan sesuatu amalan, beramal kerana mengharapkan sesuatu balasan duniawi, yang dilakukan secara tidak ikhlas dan penuh kepalsuan.

Riya’ berlaku hasil dari hati yang TIDAK IKHLAS. Iblis dan Syaitan menjalankan kerja-kerja menghiasi amalan-amalan kita dengan sifat riya’ agar kita mudah menjadi terkenal dengan habuan dunia yang menyeronokkan dan sementara.  Itulah di antara janji-janji Iblis yang penuh dengan kepalsuan.

Riya’ terbahagi kepada dua iaitu Riya’ Khusus dan Riya’ bercampur.

.

Riya’ khusus ialah berkehendakkan manfaat dunia semata-mata dari amalan yang dikerjakan, manakala Riya’ bercampur ialah berkehendakkan manfaat dunia dan  akhirat.

Mengikut qaul (kata-kata) yang terpilih, tiada kadar tertentu terbatalnya pahala akibat riya’ itu. Yang jelas, riya’ itu mengakibatkan pahala tidak diterima, ditolak terus atau dikurangkan pahalanya.

Diriwayatkan, apabila hamba Allah yang riyak menuntut pahala amalannya pada hari Kiamat, Allah Taala lalu berfirman: “Tidakkah Aku luaskan untukmu tempat kedudukanmu di majlis-majlis? Tidakkah Aku jadikan engkau pemimpin manusia di dunia? Tidakkah Aku murahkan (permudahkan) urusan perniagaanmu? Apakah kamu tidak dimuliakan?”

Riwayat ini bermaksud, tuntutan pahala daripada hamba Allah itu tidak diperkenankan, kerana amalannya tidak ikhlas. Cukuplah untuk dia mendapat manfaat dunia yang menjadi matlamatnya.

Diriwayatkan lagi, bahawa malaikat membawa naik ke langit amalan hamba Allah dengan sukacitanya. Tetapi Allah berfirman:

“Lemparkan amalan itu ke neraka Sijjin. Sesungguhnya dia (hamba Allah itu) mengerjakan amalan itu bukan kerana-Ku”.

Mengikut riwayat yang lain: Pada hari Kiamat, kedengaran seruan yang dapat didengar oleh semua makhluk, “Hai, orang-orang yang menyembah manusia! Berdirilah kamu, ambillah pahala daripada orang yang kerananya kamu kerjakan amalan kamu itu. Aku tidak menerima amalan yang dikaitkan dengan yang lain daripada-Ku”.

Seterusnya diriwayatkan lagi, Rasulullah saw bersabda, maksudnya: “Sesungguhnya syurga itu berbicara, katanya, ‘Aku ini haram bagi setiap orang yang bakhil, riyak, pengadu-domba dan pendengki”.

Mengikut Imam al-Ghazali: “Bakhil dalam Hadis tersebut membawa maksud, bakhil yang sejahat-jahat bakhil, iaitu bakhil daripada mengucapkan La ilaha illallah, Muhammadun Rasulullah. Manakala riya’ itu pula ialah sejahat-jahat riya’, iaitu riya’ orang munafik, menunjuk-nunjuk imannya dan tauhidnya dengan kata-kata dan perbuatan, tetapi di dalam hatinya berlainan.

Orang yang tidak mengatasi bakhil dan riya’ tersebut atau tidak membebaskan diri daripada serangan kedua-duanya, akan menerima kecelakaan dan akan terjatuh dalam kekufuran, lalu terluput daripada syurga dan berhak kekal dalam neraka”.

Dalam satu riwayat yang panjang, Abu Hurairah menyatakan, Rasulullah bersabda, bahawa orang-orang yang mula-mula diseru pada hari Kiamat ialah:

· lelaki yang membaca / menghafaznya al-Quran,
· lelaki yang banyak harta,
· lelaki yang terkorban dalam perang sabil.

Kepada lelaki yang membaca / menghafaz al-Quran, Allah Taala berfirman, “Tidakkah Aku ajarkan engkau apa yang Aku turunkan melalui Rasul-Ku?”.

Apabila lelaki itu menjawab, “Ya, wahai Tuhanku”, Allah berfirman lagi, “Apa yang engkau amalkan dengan apa yang engkau ketahui di dalam al-Qur’an itu?”.

Jika lelaki itu berbohong, Allah berfirman kepadanya, “Engkau dusta!”. Para Malaikat juga turut berkata demikian. “Engkau sebenarnya mahukan sebutan / pujian orang. Sesungguhnya apa yang engkau mahu itu engkau telah dapat dan itulah ganjaran untukmu”.

Kepada orang kaya pula Allah berfirman, “Tidakkah Aku kurniakan kekayaan kepada engkau sehingga engkau tidak perlukan bantuan orang lain?”.

Jawab orang kaya, “Ya, wahai Tuhanku”. Lalu Allah berfirman lagi, “Apakah yang engkau lakukan dengan kekayaan yang Aku kurniakan itu?”.

Jika orang kaya itu menjawab, dia gunakan hartanya untuk menghubungkan silaturrahim dan bersedekah, Allah lalu berfirman dan diikuti oleh para malaikat. “Engkau berdusta! Sebenarnya engkau mahu dikatakan orang, bahawa engkau pemurah. Engkau telah memperolehi apa yang engkau mahu itu dan itulah ganjaran untukmu!”.

Demikianlah juga, firman Allah kepada lelaki yang terkorban dalam perang sabil, apabila dia berbohong dengan mengatakan, “Engkau perintah kami berjihad fi sabilillah, maka aku berjihad. Dalam perang sabil aku membunuh dan akhirnya aku dibunuh”.

Ibnu ‘Abbas pula meriwayatkan, Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud, “Sesungguhnya neraka dan penghuninya menjerit-jerit kerana orang-orang riya’”.

Ibnu ‘Abbas bertanya, “Kenapa mereka menjerit, ya Rasulullah?”

Rasulullah menjawab, “Kerana terlalu panas api yang digunakan untuk menyeksa orang-orang riyak”.

Orang yang mengerjakan amal kebajikan kerana berkehendakkan manfaat dunia, walaupun manfaat itu diharapkan daripada Allah (bukan daripada manusia) adalah juga termasuk dalam riyak, iaitu riyak khusus.

Menurut ulama, “riyak” itu adalah berdasarkan apa yang dikehendaki, bukan daripada siapa kehendak itu diminta. Tak kira, sama ada daripada Allah Taala atau daripada manusia, jika manfaat dunia yang dikehendaki, maka itu dikira riyak. Habuannya hanyalah di dunia semata-mata. Oleh sebab itu Rasulullah S.a.w memberi amaran bahawa riyak itu merupakan SYIRIK yang terkecil.

Firman Allah Taala, mafhumnya:

“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebahagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagian pun di akhirat.” Surah As Syuura : Ayat 20

Jika manfaat dunia yang dikehendaki untuk dijadikan bekalan beribadat, maka itu tidak dikira riyak, kerana manfaat itu bukan bersifat duniawi semata-mata, tetapi bercampur dengan manfaat ukhrawi.

Jadi, niat untuk mencapai matlamat kebajikan ke jalan akhirat bukan dikira riya’. Umpamanya, kita berusaha mencari pengaruh atau berusaha untuk mendapat penghormatan orang ramai dengan cara meninggikan taraf hidup kita, semata-mata dengan tujuan agar kerja kebajikan kita, misalnya kegiatan dakwah, mendapat sokongan dan sambutan yang akan mendatangkan hasil yang diharapkan atau mendapat kejayaan yang cemerlang.

Hal seperti itu dikatakan sebagai usaha untuk mencapai matlamat kebajikan (untuk akhirat), kecuali jika pengaruh dan penghormatan itu untuk memperolehi kemuliaan, kebesaran, kemasyhuran, kemegahan dan keadaan yang bersifat duniawi yang lainnya.

.

Peringkat Riak1- Riak AkbarRiak akbar ialah seseorang itu taat melakukan ibadat tetapi untuk mendapatkan sesuatu daripada manusia dan bukanlah untuk beroleh keredhaan Allah SWT. Riak ini adalah berpaling terus daripada Allah pada keseluruhannya kerana hanya berkiblatkan manusia.2- Riak AsgharRiak asghar ini pula ialah melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang ada pada manusia dan apa yang pada Tuhan iaitu melakukan amal kerana Allah dan kerana yang lain daripada-Nya. Riak ini adalah lebih ringan daripada riak akbar kerana orang itu menghadap Allah pada satu segi dan kepada manusia pada satu segi yang lain.3- Riak Jali ( yang terang )Riak ini ialah mendorong seseorang itu untuk melakukan amal ibadat. Sehinggakan jika tanpa riak ini dia tidak berminat untuk melakukan amal.4- Riak Khafi ( yang tersembunyi )Riak ini pula ialah riak yang tesembunyi dan ianya tersembunyi dalam hati di mana ianya mendorong seseorang itu untuk lebih rajin beribadat.
Peringkat Riya’

1- Riya’ Akbar (Besar)

Riya’ akbar ialah melakukan ibadat kerana mahu sesuatu dari manusia dan bukannya kerana Allah SWT. Riyak ini adalah berpaling terus daripada Allah secara keseluruhannya.

2- Riya’ Asghar (Kecil)

Riyak asghar ini pula ialah melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu dari manusia dan sesuatu dari Tuhan iaitu melakukan amal kerana Allah dan kerana yang lain daripada-Nya. Riyak ini  lebih ringan daripada riyak akbar kerana orang itu masih menghadap pada Allah, cuma ada juga berharap pada manusia dari sudut  lain.

3- Riya’ Jali ( yang terang )

Riya’ ini ialah menggalakkan seseorang itu untuk melakukan amal ibadat. Sehinggakan jika tanpa riyak ini dia tidak berminat atau tidak mahu langsung untuk melakukan amal ibadat.

4- Riya’ Khafi ( yang tersembunyi )

Riya’ ini pula ialah ria’ yang tersembunyi dan ianya tersembunyi dalam hati di mana ianya mendorong seseorang itu untuk lebih rajin beribadat. Jika tidak ia akan malas-malas dan tidak bersungguh untuk beribadah.

.

Melindungi diri dari penyakit Riya’

Sesungguhnya penyakit yang paling besar serta mematikan yang menimpa hati manusia , serta dapat menjadikan amalan-amalan sia-sia, juga merosakkan seluruh perbuatan manusia serta melahirkan kekerasan dan kekejian ialah riya’.

Riya’ adalah sebahagian dari perbuatan syirik menyekutukan Allah, dan sikap ini bersatu dalam diri orang yang takabbur. Banyak nas yang mencela sikap ini, antaranya;

Sabda Rasulullah S.a.w dalam hadith Haritsah bin Wahab, “Mahukah kalian aku beritahu tentang penghuni neraka, iaitu setiap orang yang berperangai jahat serta kasar,  orang gemuk yang berlebih-lebihan dalam berjalannya dan orang-orang yang sombong.” Hadith Riwayat Bukhari

Dan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi S.a.w, baginda bersabda, “Tidak akan masuk syurga barangsiapa yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji zarah (atom) sekalipun.” Hadith Riwayat Muslim

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, seseorang yang melakukan riya’ pada hakikatnya ia tidak melakukan firman Allah  (Hanya kepadaMu aku menyembah)  dan orang yang bersikap ujub (bangga pada diri sendiri) pada hakikatnya ia tidak melakukan firman Allah   (Hanya kepadaMu kami mohon pertolongan) . Dan barangsiapa yang melakukan firman Allah (Hanya kepadamu kami menyembah) maka ia telah keluar dari sikap riya’, dan barangsiapa yang melaksanakan firman Allah (Hanya kepadaMu kami mohon pertolongan) maka ia telah keluar dari sikap ujub.  (Majmu’ Al Fatawa  10/277)

Dan Ibnul Qayyim pula berkata, “Sesungguhnya hati manusia dihadapi oleh dua macam penyakit yang amat besar jika orang itu tidak menyedari adanya kedua penyakit itu akan melemparkan dirinya ke dalam kehancuran dan itu  adalah pasti, kedua penyakit itu adalah riya’ dan takabbur.  Maka ubat kepada riyak ialah (Hanya kepadaMu kami menyembah)  dan ubat dari penyakit takabbur ialah (Hanya kepadaMu kami memohon pertolongan)”.  (Madarijus Salikin  1/54)

.

Sesuatu Yang Disangka Sebagai Riya’, Tetapi Sebenarnya Bukan Riya’

Dari Abu Zar r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. ditanya: “Bagaimanakah pendapat Tuan perihal seseorang lelaki yang mengerjakan suatu amalan yang baik dan ia mendapatkan pujian dari orang ramai kerana amalannya itu?” Beliau s.a.w. lalu bersabda: “Yang sedemikian itulah kegembiraan seorang mu’min yang diterima secara segera – yakni ketika di dunia sudah dapat merasakan kenikmatannya. (Riwayat Muslim)

.

Rujukan :

1. AlQuran

2. AlHadith

3. Rayuan, janji dan sumpah Iblis laknatullah  -  Hidayatullah Mohd Syaruf Aziz

4. Riyadhus Sholihin – Bab 289

KREDIT 2: HIKMATUN

Receive all updates via Facebook. Just Click the Like Button Below

Powered By Blogger Widgets


TUHANKU,AKULAH HAMBA YANG BODOH DALAM ILMU PENGETAHUAN KU INI,MAKA BAGAIMANA TAKKAN BODOH LAGI DALAM HAL-HAL YANG AKU MASIH BODOH LAGI DALAM HAL-HAL YANG AKU MASIH BODOH TIDAK MENGETAHUINYA.

air

TUHANKU, AJARKAN AKU DARI ILMU YANG LANGSUNG DAN MASIH TERSEMBUNYI DIDALAM PERBENDAHARAANMU DAN PELIHARALAH AKU DENGAN RAHSIA NAMAMU YANG TERPELIHARA.
TUHANKU, KELUARKANLAH AKU DARI KERENDAHAN DIRIKU(nafsuku)DAN BERSIHKAN AKU DARI KERAGUAN DAN SYIRIK SEBELUM MASUK KE LUBANG KUBURKU,BEBASKAN DIRIKU DARI TAWANAN HAWA NAFSUKU SERTA BERIKAN DAKU KEYAKINAN YANG DAPAT MENGHILANGKAN SEGALA RAGU DAN KESYIRIKKAN.
TUHANKU,BAGAIMANA AKAN DIHARAPKAN SESUATU SELAIN ENGKAU,PADAHAL ENGKAU TIDAK PERNAH MERUBAH KEBIASAAN PERTOLONGAN DAN KEBAIKKANMU DAN BAGAIMANA AKAN DIMINTA SELAIN DARI ENGKAU SEDANGKAN ENGKAU TIDAK PERNAH MERUBAH KEBIASAAN MEMBERI KURNIA.
TUHANKU,HARAPAN KU TIDAK PERNAH PUTUS DARIMU MESKI PUN AKU TELAH BERBUAT DOSA MAKSIAT, DEMIKIAN PULA RASA TAKUT KU PADAMU TIDAK HILANG MESKIPUN AKU TELAH TAAT DAN PATUH PADAMU.
TUHANKU,ENGKAULAH TUHAN YANG TIDAK ADA TUHAN KECUALI ENGKAU.


Hadits shahih, riwayat Abu Dawud no.2118, an-Nasa-I III/104-105, ad-Darimi II/142, Ahmad I/392-393, 432, ‘Abdurrazzaq no. 10449, ath-Thayalisi no. 338, al-Hakim II/182-183, al-Baihaqi VII/146 dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radiyallahuanhu. (Lihat Kutaib Khuthbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimullah).

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Rasulullah Shallallah alaihi wa sallam, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang-orang di sekelilingmu tersenyum.
Jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis.
Dunia ini umpama lautan yang luas. Kita adalah kapal yang belayar dilautan telah ramai kapal karam didalamnya..andai muatan kita adalah iman,dan layarnya takwa,nescaya kita akan selamat dari tersesat di lautan hidup ini.
Dari Hatim Al-Asom yang bermaksud:
Empat perkara yang hanya diketahui oleh empat jenis orang akan nilainya iaitu:
1. Nilai masa muda hanya diketahui oleh orang tua-tua.
2. Nilai kedamaian hanya diketahui oleh orang yang pernah ditimpa bencana.
3. Nilai kesihatan hanya diketahui oleh orang-orang sakit.
4. Nilai kehidupan hanya diketahui oleh orang-orang yang telah mati.
http://1.bp.blogspot.com/_vW1GG83Zr1U/SfXxhEwt2cI/AAAAAAAACjc/zNWg4-Bw5U4/s400/qaradawi.jpg
"Menggunakan internet untuk menyampaikan maklumat Islam,menyampaikan suara Islam dan memperlihatkan Islam merupakan satu jihad utama"Petikan Daripada Kitab Fikhul Jihad Karangan Prof.Dr.Sheikh Yusuf Al-Qardhawi
Search in the Quran
Search in the Quran:
in
Download Islamic Softwares FREE | Free Code
www.SearchTruth.com
Search in the Hadith
Search: in
Download Islamic Softwares FREE | Free Code
www.SearchTruth.com
atau,
Search in the Hadith
Search:
in
Download | Free Code
www.SearchTruth.com
10. Widget Pencarian ayat dan hadits Kodenya:
Search in Quran and Hadith

2 Pictures, Images and Photos
KLIK MONITOR UNTUK TV LIVE

 

Powered by BannerFans.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Image by FlamingText.com
Image by FlamingText.com > Apabila manusia memuliakanmu kerana harta dan kuasa, maka janganlah engkau berbangga kerana kemuliaan tadi akan hilang apabila hilang kedua-duanya. Akan tetapi hendaklah hendaklah engkau berbangga sekiranya manusia memuliakan mu kerana agama atau tingkah laku mu yang baik.

عن أبي جعفر عليه السلام قال: الصلاة عمود الدين، مثلها كمثل عمود الفسطاط إذا ثبت العمود ثبتت الاوتاد والاطناب، وإذا مال العمود وانكسر لم يثبت وتد ولا طنب.


Dari Abi Ja’far as berkata:


“Shalat adalah tiang agama, perumpamaannya seperti tiang kemah, bila tiangnya kokoh maka paku dan talinya akan kokoh, dan bila tiangnya miring dan patah maka paku dan talinya pun tidak akan tegak.”

قال النبي صلى الله عليه واله: علم الإسلام الصلاة فمن فرغ لها قلبه وحافظ عليها بحدها ووقتها وسننها فهو مؤمن.

“Bendera Islam adalah shalat, maka barangsiapa memberikan hatinya untuknya dan menjaganya dengan batasan dan waktunya serta sunah-sunnahnya maka ia adalah seorang mukmin (hakiki).”

قال النبي صلى الله عليه واله: موضع الصلاة من الدين كموضع الرأس من الجسد.

Rasulullah saw bersabda:

“Kedudukan shalat dari agama adalah seperti kedudukan kepala dari badan.”