Selasa, 25 September 2012

TAATI ORANG TUA DAN SUAMI


Antara Berbakti Kepada Orangtua dan Taat Kepada Suami



Memilih antara menuruti keinginan suami atau tunduk kepada perintah orangtua merupakan dilema yang banyak dialami kaum wanita yang telah menikah. Bagaimana Islam mendudukkan perkara ini?
Seorang wanita apabila telah menikah maka suaminya lebih berhak terhadap dirinya daripada kedua orangtuanya. Sehingga ia lebih wajib menaati suaminya. Allah k berfirman:
“Maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada (bepergian) dikarenakan Allah telah memelihara mereka…” (An-Nisa’: 34)
Nabi n bersabda dalam haditsnya:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا سَرَّتْكَ، وَإِذَا أَمَرْتَهَا أَطَاعَتْكَ، وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظَتْكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ
“Dunia ini adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasannya adalah wanita yang shalihah. Bila engkau memandangnya, ia menggembirakan (menyenangkan)mu. Bila engkau perintah, ia menaatimu. Dan bila engkau bepergian meninggalkannya, ia menjaga dirinya (untukmu) dan menjaga hartamu1.”
Dalam Shahih Ibnu Abi Hatim dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
إِذَا صَلَتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktunya, mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan menaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan2.”
Dalam Sunan At-Tirmidzi dari Ummu Salamah x, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا رَاضٍ عَنْهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita (istri) mana saja yang meninggal dalam keadaan suaminya ridha kepadanya niscaya ia akan masuk surga.”
At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan3.”
Dari Abu Hurairah z dari Nabi n, beliau bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا لِأَحَدٍ أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia berkata, “Hadits ini hasan4.” Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan lafadznya:
لَأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لِأَزْوَاجِهِنَّ، لِمَا جَعَلَ اللهُ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحُقُوْقِ
“…niscaya aku perintahkan para istri untuk sujud kepada suami mereka dikarenakan kewajiban-kewajiban sebagai istri yang Allah bebankan atas mereka.”5
Dalam Al-Musnad dari Anas z bahwasanya Nabi n bersabda:
لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَاَّلذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةً تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلحسَتْهُ مَا أَدّّتْ حَقَّهُ
“Tidaklah pantas bagi seorang manusia untuk sujud kepada manusia yang lain. Seandainya pantas/boleh bagi seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suaminya terhadapnya. Demi Zat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian si istri menghadap suaminya lalu menjilati luka/borok tersebut niscaya ia belum purna menunaikan hak suaminya.”6
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibni Majah, dari Aisyah x dari Nabi n, beliau bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُلَ مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكاَنَ لَهَا أَنْ تَفْعَلَ
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seorang yang lain niscaya aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Seandainya seorang suami memerintahkan istrinya untuk pindah dari gunung merah menuju gunung hitam dan dari gunung hitam menuju gunung merah maka si istri harus melakukannya.”7
Demikian pula dalam Al-Musnad, Sunan Ibni Majah, dan Shahih Ibni Hibban dari Abdullah ibnu Abi Aufa z, ia berkata:
لمَاَّ قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّام ِسَجَدَ لِلنَّبِيِّ n فَقَالَ: مَا هذَا يَا مُعَاذُ؟ قَالَ: أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَجَدْتُهُمْ يَسْجُدُوْنَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ، فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ تَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ .فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: لاَ تَفْعَلُوا ذَلِكَ، فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأََلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
Tatkala Mu’adz datang dari bepergiannya ke negeri Syam, ia sujud kepada Nabi n, maka beliau menegur Mu’adz, “Apa yang kau lakukan ini, wahai Mu’adz?”
Mu’adz menjawab, “Aku mendatangi Syam, aku dapati mereka (penduduknya) sujud kepada uskup mereka. Maka aku berkeinginan dalam hatiku untuk melakukannya kepadamu, wahai Rasulullah.”
Rasulullah n bersabda, “Jangan engkau lakukan hal itu, karena sungguh andai aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang istri tidaklah menunaikan hak Rabbnya sampai ia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya dalam keadaan ia berada di atas pelana (hewan tunggangan) maka ia tidak boleh menolaknya8.”
Dari Thalaq bin Ali, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
أَيُّمَا رَجُلٍ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَلَوْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ
“Suami mana saja yang memanggil istrinya untuk memenuhi hajatnya9 maka si istri harus/wajib mendatanginya (memenuhi panggilannya) walaupun ia sedang memanggang roti di atas tungku api.”
Diriwayatkan oleh Abu Hatim dalam Shahih-nya dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan10.”
Dalam kitab Shahih (Al-Bukhari) dari Abu Hurairah z, ia berkata, Rasulullah n bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِيْئَ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri menolak untuk datang, lalu si suami bermalam (tidur) dalam keadaan marah kepada istrinya tersebut, niscaya para malaikat melaknat si istri sampai ia berada di pagi hari.”11
Hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dari Nabi n.
Zaid bin Tsabit z berkata, “Suami adalah tuan (bagi istrinya) sebagaimana tersebut dalam Kitabullah.” Lalu ia membaca firman Allah k:
ﮉ  ﮊ  ﮋ  ﮌﮍ
“Dan keduanya mendapati sayyid (suami) si wanita di depan pintu.” (Yusuf: 25)
Umar ibnul Khaththab z berkata, “Nikah itu adalah perbudakan. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat/memerhatikan kepada siapa ia memperbudakkan anak perempuannya.”
Dalam riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Nabi n, beliau bersabda:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ
“Berwasiat kebaikanlah kalian kepada para wanita/istri karena mereka itu hanyalah tawanan di sisi kalian.”12
Dengan demikian seorang istri di sisi suaminya diserupakan dengan budak dan tawanan. Ia tidak boleh keluar dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya baik ayahnya yang memerintahkannya untuk keluar, ataukah ibunya, atau selain kedua orangtuanya, menurut kesepakatan para imam.
Apabila seorang suami ingin membawa istrinya pindah ke tempat lain di mana sang suami menunaikan apa yang wajib baginya dan menjaga batasan/hukum-hukum Allah  l dalam perkara istrinya, sementara ayah si istri melarang si istri tersebut untuk menuruti/menaati suami pindah ke tempat lain, maka si istri wajib menaati suaminya, bukannya menuruti kedua orangtuanya. Karena kedua orangtuanya telah berbuat zalim. Tidak sepantasnya keduanya melarang si wanita untuk menaati suaminya. Tidak boleh pula bagi si wanita menaati ibunya bila si ibu memerintahnya untuk minta khulu’ kepada suaminya atau membuat suaminya bosan/jemu hingga suaminya menceraikannya. Misalnya dengan menuntut suaminya agar memberi nafkah dan pakaian (melebihi kemampuan suami) dan meminta mahar yang berlebihan13, dengan tujuan agar si suami menceraikannya. Tidak boleh bagi si wanita untuk menaati salah satu dari kedua orangtuanya agar meminta cerai kepada suaminya, bila ternyata suaminya seorang yang bertakwa kepada Allah l dalam urusan istrinya. Dalam kitab Sunan yang empat14 dan Shahih Ibnu Abi Hatim dari Tsauban z, ia berkata, “Rasulullah  bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس َفَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana yang meminta cerai kepada suaminya tanpa ada apa-apa15 maka haram baginya mencium wanginya surga.”16
Dalam hadits yang lain:
الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ
“Istri-istri yang minta khulu’17 dan mencabut diri (dari pernikahan) mereka itu wanita-wanita munafik.”18
Adapun bila kedua orangtuanya atau salah satu dari keduanya memerintahkannya dalam perkara yang merupakan ketaatan kepada Allah l, misalnya ia diperintah untuk menjaga shalatnya, jujur dalam berucap, menunaikan amanah dan melarangnya dari membuang-buang harta dan bersikap boros serta yang semisalnya dari perkara yang Allah  l dan Rasul-Nya n perintahkan atau yang dilarang oleh Allah l dan Rasul-Nya n untuk dikerjakan, maka wajib baginya untuk menaati keduanya dalam perkara tersebut. Seandainya pun yang menyuruh dia untuk melakukan ketaatan itu bukan kedua orangtuanya maka ia harus taat. Apalagi bila perintah tersebut dari kedua orangtuanya.
Apabila suaminya melarangnya dari mengerjakan apa yang Allah l perintahkan atau sebaliknya menyuruh dia mengerjakan perbuatan yang Allah l larang maka tidak ada kewajiban baginya untuk taat kepada suaminya dalam perkara tersebut. Karena Nabi n bersabda:
إِنَّهُ لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq.”19
Bahkan seorang tuan (ataupun raja) andai memerintahkan budaknya (ataupun rakyatnya/orang yang dipimpinnya) dalam perkara maksiat kepada Allah l, tidak boleh bagi budak tersebut menaati tuannya dalam perkara maksiat. Lalu bagaimana mungkin dibolehkan bagi seorang istri menaati suaminya atau salah satu dari kedua orangtuanya dalam perkara maksiat? Karena kebaikan itu seluruhnya dalam menaati Allah  l dan Rasul-Nya n, sebaliknya kejelekan itu seluruhnya dalam bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Majmu’atul Fatawa, 16/381-383). Wallahu a’lam bish-shawab.

1 HR. Ahmad (2/168) dan Muslim (no. 3628), namun hanya sampai pada lafadz:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
Selebihnya adalah riwayat Ahmad dalam Musnad-nya (2/251, 432, 438) dan An-Nasa’i. Demikian pula Al-Baihaqi, dari Abu Hurairah z, ia berkata:
قِيْلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ النِّساَءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلاَ تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَلَا فِي مَالِهِ بِمَا يَكْرَهُ
Ditanyakan kepada Rasulullah n: “Wanita (istri) yang bagaimanakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Yang menyenangkan suaminya bila suaminya memandangnya, yang menaati suaminya bila suaminya memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi suaminya dalam perkara dirinya dan tidak pula pada harta suaminya dengan apa yang dibenci suaminya.” (Dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Irwa’ul Ghalil no. 1786)
2 Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir, no. 660.
3 HR. At-Tirmidzi no. 1161 dan Ibnu Majah no. 1854, didhaifkan Al-Imam Al-Albani t dalam Dha’if Sunan At-Tirmidzi dan Dhaif Sunan Ibni Majah.
4 HR. At-Tirmidzi no. 1159 dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, “Hasan Shahih.”
5 HR. Abu Dawud no. 2140, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud.
6 HR. Ahmad (3/159), dishahihkan Al-Haitsami (4/9), Al-Mundziri (3/55), dan Abu Nu’aim dalam Ad-Dala’il (137). Lihat catatan kaki Musnad Al-Imam Ahmad (10/513), cet. Darul Hadits, Al-Qahirah.
7 HR. Ahmad (6/76) dan Ibnu Majah no. 1852, didhaifkan Al-Imam Al-Albani t dalam Dha’if Sunan Ibni Majah.
8 HR. Ahmad (4/381) dan Ibnu Majah no. 1853, kata Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Ibni Majah, “Hasan Shahih.” Lihat pula Ash-Shahihah no. 1203.
9 Kinayah dari jima’. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ar-Radha’, bab Ma Ja’a fi Haqqiz Zauj alal Mar’ati)
10 HR. At-Tirmidzi no. 1160 dan Ibnu Hibban no. 1295 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 3257 dan Ash-Shahihah no. 1202.
11 HR. Al-Bukhari no. 5193.
12 HR. At-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, dihasankan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah.
13 Misalnya maharnya tidak tunai diberikan oleh sang suami saat akad namun masih hutang, dan dijanjikan di waktu mendatang setelah pernikahan.
14 Yaitu Sunan At-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, Sunan An-Nasa’i, dan Sunan Ibnu Majah.
15 Lafadz: ((مِنْ غَيْرِ مَا بَأْس)) maksudnya tanpa ada kesempitan yang memaksanya untuk meminta pisah. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
16 HR. At-Tirmidzi no. 1187, Abu Dawud no. 2226, Ibnu Majah no. 2055, dan Ibnu Hibban no. 1320 (Mawarid), dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, dll.
17 Tanpa ada alasan yang menyempitkannya. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
18 HR. Ahmad 2/414 dan Tirmidzi no. 1186, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan Tirmidzi, Ash-Shahihah no. 633, dan Al-Misykat no. 3290. Mereka adalah wanita munafik yaitu bermaksiat secara batin, adapun secara zahir menampakkan ketaatan. Ath-Thibi berkata, “Hal ini dalam rangka mubalaghah (berlebih-lebihan/sangat) dalam mencerca perbuatan demikian.” (Tuhfatul Ahwadzi, kitab Ath-Thalaq wal Li’an, bab Ma Ja’a fil Mukhtali’at)
19 HR. Ahmad 1/131, kata Syaikh Ahmad Syakir t dalam ta’liqnya terhadap Musnad Al-Imam Ahmad, “Isnadnya shahih.”

KREDIT2; asysyariah

Ahad, 2 September 2012

KEWAJIPAN MENYAMPAIKAN ILMU



WAJIB MENYAMPAIKAN ILMU AGAMA DAN KELEBIHANNYA

Firman Allah Taala, maksudnya: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan dari keterangan-keterangan dan pertunjuk hidayat, sesudah Kami menerangkannya kepada manusia di dalam kitab suci,  mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh sekalian makhluk. " (159, Surah Al-Baqarah).

"Dan (ingatlah!) ketika Allah mengambil perjanjian setia daripada orang-orang yang telah diberikan kitab, iaitu: Demi sesungguhnya hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada umat manusia dan jangan sekali-kali kamu menyembunyikannya .." (187, Surah Ali Imran).

Hadis Kedua Puluh Tujuh
27- عَنْ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِيُبَلِّغ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّ الشَّاهِدَ عَسَى أَنْ يُبَلِّغَ مَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ مِنْهُ. (البخاري ومسلم)
27 - Dari Abi Bakrah r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Hendaklah orang yang hadir (mendengar hadis ku) menyampaikannya kepada orang-orang tidak hadir kerana sesungguhnya diharap orang yang disampaikan hadis itu kepadanya lebih hafaz dan lebih faham daripada yang menyampaikannya.

(Bukhari dan Muslim)

Hadis yang kedua puluh tujuh ini menerangkan bahawa:

(1) Soal menyampaikan ilmu agama adalah menjadi tugas kepada setiap orang yang mengetahuinya.

(2) Orang yang disampaikan kepadanya sesuatu ilmu agama,  boleh jadi ia lebih faham dari orang yang menyampaikannya.

Huraiannya:

1 - Soal menyampaikan ilmu agama: 
Agama Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia dan segala bangsa dan dalam setiap masa,  turun temurun hingga hari qiamat. Untuk meneruskan perkembangan Islam dalam segala tempat dan segala zaman itu, Nabi Muhammad s.a.w. , meninggalkan pesannya yang berupa perintah supaya tiap-tiap orang yang mendengar hadis Baginda dan ajaran-ajaran yang dibawanya, menyampaikannya kepada orang yang belum mendengarnya.

Dengan itu nyatalah bahawa tugas menyampaikan sesuatu hadis atau sesuatu hukum agama bukanlah tertentu kepada seseorang dengan jalan dilantik, tetapi dengan sendirinya menjadi kewajipan sesiapa jua yang menghadiri mana-mana majlis pelajaran agama, atau hadis Nabi,  atau hukum-hukum Islam,  menyampaikannya kepada orang-orang yang tidak hadir bersama,  dengan sungguh-sungguh jujur dan amanah. 

Demikianlah seterusnya dari seorang kepada yang lain, masing-masing menjalankan tugas menyampaikan ajaran-ajaran Islam,  walaupun orang yang menyampaikan itu sendiri tidak begitu faham akan maksud hadis atau hukum yang hendak disampaikannya itu.

2 - Kewajipan orang yang disampaikan kepadanya sesuatu ilmu agama:
Orang yang disampaikan kepadanya pelajaran itu, wajib menerimanya. Tentang soal memahami maksud hadis atau hukum yang diterimanya, maka ia tidaklah terikat dengan fahaman orang yang menyampaikannya, bahkan ia boleh menyatakan fahamannya dengan berdasarkan kaedah yang tertentu dalam ilmu agama.

Pendeknya orang yang menyampaikan sesuatu hadis atau sesuatu ilmu agama dan Rasulullah s.a.w. boleh diterima daripadanya walaupun orang itu tidak begitu faham akan hadis atau ilmu yang disampaikannya; dan ia akan beroleh pahala dengan usaha penyampaiannya itu serta dikira dan golongan ahli agama.

Hadis Kedua Puluh Lapan
28- عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ. (البخاري والترمذي)
28 - Dari Abdullah bin 'Amr ra., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sampaikanlah (apa yang kamu dapat) dari ku walau satu ayat sekalipun; dan ceritakanlah (apa yang sampai kepada kamu) darihal Bani Israel dan (dalam pada itu) tidak ada salahnya (kalau kamu tidak ceritakan). Dan (ingatlah!) sesiapa yang berdusta terhadapku dengan sengaja,  maka hendaklah ia menyediakan tempatnya dalam neraka. 

(Bukhari dan Tirmizi)

Hadis yang kedua puluh lapan ini menerangkan bahawa:

(1) Ilmu agama,  walau sedikit sekalipun, wajib juga disampaikan.

(2) Kisah-kisah Bani Israel boleh diceritakan.

(3) Balasan buruk bagi orang yang berbuat dusta terhadap Rasulullah s.a.w.

Huraiannya:

1 - Soal menyampaikan ilmu agama:
Ilmu agama tidak harus sama sekali disembunyikan, bahkan tiap-tiap seorang yang mengetahuinya wajib menyampaikannya kepada orang yang belum mengetahuinya walau pun ilmu itu hanya satu ayat dan Al-Qur'an atau satu hadis atau satu hukum. Dengan itu akan tersebarlah ilmu pengetahuan dan hukum-hukum Islam kepada seluruh umat manusia sebagaimana yang ditugaskan kepada Rasulullah s.a.w. dan umatnya.

2 - Kisah-kisah Bani Israel: 

Kisah-kisah Bani Israel tidak salah diceritakan, asalkan kisah-kisah itu tidak diyakini dustanya. Itu pun mana-mana yang mengandungi pengajaran dan mendatangkan iktibar, seperti kisah kaum yang diperintahkan membunuh diri untuk bertaubat dan dosa mereka menyembah patung anak lembu, dan kisah kaum yang telah diubah keadaan mereka kepada keadaan monyet dan babi kerana kesalahan mereka melanggar perintah dengan melakukan tipu helah.

3 - Balasan berbuat dusta terhadap Nabi Muhammad S.A.W. 

Dalam hal menyampaikan apa yang datang dari Rasulullah s.a.w., tiap-tiap seorang hendaklah berhati-hati supaya ia tidak melakukan sesuatu yang dusta terhadap Baginda dengan mengatakan perkara yang disampaikannya itu berpunca dari Baginda pada hal yang sebenarnya tidak demikian.

Memperkatakan sesuatu yang dusta terhadap Baginda amat buruk kesannya kepada ajaran dan hukum-hukum Allah yang dibawa oleh Baginda. Oleh itu sesiapa yang sengaja melakukan perkara yang demikian maka berhaklah ia menerima azab seksa yang dijanjikan oleh Baginda dalam hadisnya ini.

Al-Ubbi, ahli hadis yang terkenal pensyarah kitab Sahih Muslim mengingatkan dengan berkata:  perkara yang hampir kepada dusta atau yang berupa dusta,  ialah memperkatakan kalimah-kalimah dalam hadis Nabi dengan sebutan yang salah (yang tidak menurut kaedah Bahasa!Arab); oleh itu, maka tiap-tiap seorang yang beriman hendaklah berjaga-jaga dengan bersungguh-sungguh mengenai hal yang tersebut. Demikianlah juga diperingatkan oleh Imam Nawawi. Al-Ubbi berkata lagi: Sebagai bukti tentang apa yang dikatakan oleh Imam Nawawi dalam hal ini, ialah apa yang telah disalinkan oleh Ibnu Al-Salah dan Al-Asma'i yang pernah mengatakan: "Bahawa perkara yang sangat dibimbangkan terhadap seseorang penuntut ilmu hadis apabila ia tidak mengetahui ilmu Bahasa Arab, akan termasuk (di antara orang-orang) yang dimaksudkan oleh Nabi s.a.w. (sesiapa yang berdusta terhadapku dengan sengaja,  maka hendaklah ia menyediakan tempatnya di dalam neraka), kerana Baginda tidak pernah menuturkan sabdanya dengan cara yang salah pada kaedah-kaedah Bahasa Arab, maka pada bila-bila masa sahaja engkau meriwayatkan hadis dan Baginda dan engkau menyebutnya dengan cara yang salah, bermakna engkau berdusta terhadap Baginda!".

Dengan yang demikian - kata Ibnu Al-Salah lagi - adalah menjadi tanggungan seseorang penuntut hadis untuk mempelajari Nahu dan ilmu bahasa Arab sekadar yang dapat menyelamatkan dirinya dari perbuatan menuturkan hadis-hadis dengan cara yang salah dan dari merosakkan maksudnya yang sebenar serta dari akibatnya yang buruk. 

Bagi pembaca-pembaca hadis Rasulullah s.a.w., hendaklah mereka menerima bacaan Hadis itu dari mulut ahli ilmu hadis yang menjaga dan memelihara sebutannya dengan betul, 

Hadis Kedua Puluh Sembilan
29- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. (أبو داود والترمذي)
29- Dari Abu Hurairah, r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesiapa yang ditanyakan kepadanya mengenai sesuatu ilmu (agama), lalu ia menyembunyikannya nescaya Allah mengekang mulutnya dengan kekang dari api neraka,  pada hari qiamat kelak."

( Abu Daud dan Tirmizi)

Hadis yang kedua puluh sembilan ini menerangkan tentang:

Balasan yang seburuk-buruknya bagi orang yang menyembunyikan ilmu agama.
Huraiannya:

Sebagaimana yang sedia diketahui, bahawa soal menyampaikan ilmu agama adalah suatu perintah yang ditetapkan oleh Allah Taala dan Rasul Nya Nabi Muhammad s.a.w. , .iaitu tiap-tiap seorang yang mengetahui sesuatu masalah agama,  dituntut menyampaikannya kepada orang lain, sebagaimana ia dituntut mengamalkannya untuk kebaikan dirinya sendiri, kerana tujuan ilmu agama itu dipelajari ialah untuk diamalkan dan mendatangkan faedah,  sama ada kepada diri sendiri atau kepada orang lain.

Oleh itu, sesiapa yang menyembunyikan sesuatu masalah agama,  atau tidak mahu menyebarkannya atau menerangkannya kepada orang yang bertanyakan masalah itu kepadanya, sudah tentu ia menentang perintah Allah dan Rasul-Nya dan menentang tujuan ilmu yang ada padanya. Dengan yang demikian, sudah sepatutnya ia dikenakan azab seksa yang seberat-beratnya sebagaimana yang tersebut dalam Hadis ini.

Berdasarkan hadis yang tersebut dan juga Hadis-hadis yang lain yang berhubung dengannya, alim ulama membuat kesimpulan bahawa orang yang ditanyakan kepadanya sesuatu masalah agama, wajiblah ia menerangkannya, dengan syarat: 

Pertama - Orang yang bertanya itu berhak mengetahui masalah yang ditanyakan;

Kedua - Masalah yang ditanyakan itu dari perkara-perkara "fardu ain" kepadanya!

Hadis Ketiga Puluh
30- عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. (البخاري ومسلم والترمذي)
30 - Dari Ibnu Mas'ud, r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tidak digalakkan adanya perasaan iri hati melainkan kepada dua keadaan:  (Pertama) keadaan orang yang dikurniakan Allah harta benda, serta menjadikannya menguasai dirinya menghabiskan hartanya itu pada perkara kebajikan yang sebenar-benarnya; dan (kedua) keadaan orang yang dikurniakan Allah ilmu pengetahuan agama, lalu ia beramal dengannya dan mengajarkannya."

(Bukhari, Muslim dan Tirmizi)

Hadis yang ketiga puluh ini menerangkan tentang:

Dua Kelebihan yang sangat-sangat digalakkan beriri hati kepadanya.
Huraiannya:

Nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepada hambanya amatlah banyak,  tidak terhitung. Di antaranya dua perkara yang sangat tinggi nilainya dan besar kelebihannya untuk mencapai keredhaan Allah Taala.

Yang pertama - nikmat pemberian harta benda kepada seseorang yang dapat menguasai dirinya dan berjaya mengalahkan perasaan tamak halubanya, sehingga dapatlah ia membelanjakan hartanya itu pada perkara kebajikan yang sebenar-benarnya, bukan membelanjakannya dengan cara membazir atau kerana riak atau kerana menurut kemahuan nafsunya semata-mata.

Kedua - nikmat pemberian ilmu pengetahuan agama kepada seseorang yang menyedari tugasnya, lalu menggunakan ilmunya itu untuk mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.

Rasulullah s.a.w. menerangkan dalam hadis ini: Bahawa dua nikmat pemberian yang tersebut amatlah besar kelebihannya sehingga mustahaklah tiap-tiap seorang beriri hati dan berusaha dengan bersungguh-sungguh semoga Allah mengurniakannya nikmat-nikmat itu supaya dapatlah ia menggunakannya menurut cara yang sebaik-baiknya seperti yang digunakan oleh dua orang yang tersebut.

Dengan berlakunya keadaan yang demikian, maka sempurnalah kebaikan seseorang meliputi jasmaninya dan rohaninya.

Hadis Ketiga Puluh Satu
31- عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا. (مسلم وأبو داود والترمذي)
31 -Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesiapa yang mengajak ke jalan mengerjakan sesuatu amal yang baik,  adalah baginya pahala sebanyak pahala orang-orang yang menurutnya, dengan tidak mengurangi sedikit pun pahala itu dari pahala-pahala mereka; dan (sebaliknya) sesiapa yang mengajak ke jalan mengerjakan sesuatu amal yang menyesatkan,  adalah ia menanggung dosa sebanyak dosa orang-orang yang menurutnya, dengan tidak mengurangi sedikit pun dosa itu dan dosa-dosa mereka."

(Muslim, Abu Daud dan Tirmizi)

Hadis yang ketiga puluh satu ini menerangkan: 

Kelebihan orang yang mengajak mengerjakan amal yang baik dan sebaliknya.
Huraiannya:
Sesuatu amal kebajikan, atau sesuatu perkara yang menyesatkan,  banyak juga dilakukan orang dengan sebab ajakan atau pimpinan atau pun arahan orang lain. Demikian pula orang yang mengajak itu, banyak juga dapat menarik orang-orang melakukan perkara-perkara yang disebarkannya itu sama ada baik atau buruk. 

Oleh itu, sesiapa yang mengajak melakukan sesuatu perkara, maka ia adalah bertanggungjawab terhadap perkara itu.

Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w. menegaskan bahawa setiap orang yang mengajak ke jalan mengerjakan sesuatu amal salih, sama ada amal itu kecil atau besar,  maka ia diberi pahala sebanyak pahala yang didapati oleh orang yang menurut ajakannya, kerana dialah yang berusaha menyebabkan amal yang baik itu tersebar dikerjakan orang.

Sebaliknya, sesiapa yang mengajak ke jalan melakukan sesuatu amalan sesat,  maka ia akan menanggung dosa,  sebanyak dosa yang ditanggung oleh orang-orang yang menurut ajakannya, kerana dialah yang berusaha menyebabkan perkara yang menyesatkan itu tersebar dilakukan orang.

Demikianlah besarnya kelebihan dan kebaikan yang akan didapati oleh orang-orang yang mengajak, memimpin, menunjuk dan menyebabkan berlakunya sesuatu amalan yang diredhai Allah;  dan sebaliknya amatlah besar padahnya bagi orang-orang yang menyebabkan berlakunya sebarang perkara yang dimurkai Allah `Azza wa Jalla.

Hadis Ketiga Puluh Dua

32- عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ. (الترمذي وأبو داود)
32 - Dari Zaid bin Thabit r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Semoga Allah menyerikan wajah dan memperelokkan keadaan orang yang mendengar dari kami sebarang hadis lalu ia memeliharanya (dengan ingatannya atau dengan tulisannya), supaya ia dapat menyampaikannya (kepada orang lain); - kerana boleh jadi ada pembawa sesuatu hadis hukum kepada orang yang lebih faham daripadanya dan boleh jadi juga pembawa sesuatu hadis hukum itu, ia sendiri bukanlah seorang yang memahaminya."(Tirmizi dan Abu Daud)

Hadis yang ketiga puluh dua ini menerangkan tentang:

(1) Kelebihan orang yang berkhidmat memelihara hadis-hadis Rasulullah s.a.w.

(2) Orang yang menyampaikan hadis disyaratkan "Hafaznya" tidak disyaratkan "Fahamnya".

Huraiannya;

(1) Kelebihan orang yang berkhidmat memelihara Hadis-hadis Nabi S.A.W.
Orang-orang yang memelihara hadis-hadis Rasulullah s.a.w. amatlah besar jasanya! Apabila mendengar sesebuah hadis,  mereka menghafaznya atau menulisnya dengan cermat,  kemudian mereka menghebahkannya dengan sepenuh tanggungjawab.  Ini bermakna mereka bekerjasama dengan Rasulullah s.a.w. menunaikan kewajipan dalam hal mengembangkan agama Islam yang dibawa oleh Baginda. Dengan yang demikian, sudah selayaknya perkhidmatan mereka mendapat balasan yang sebaik-baiknya.

Dalam hadis ini, Rasulullah s.a.w menegaskan bahawa perkhidmatan mereka dihargai oleh Baginda dengan mendoakan semoga Allah Taala menyerikan wajah mereka dan menjadikan mereka berpuas hati dengan nikmat-nikmat yang dikurniakan kepada mereka di dunia dan di akhirat.

(2) Orang yang menyampaikan hadis disyaratkan menghafaznya dan memeliharanya betul-betul, tidak disyaratkan memahaminya.
Hadis-hadis Rasulullah s.a.w. hendaklah disebarkan. Apa yang mesti disebarkan itu ialah kata-kata yang disabdakan oleh Baginda.

Ada pun tentang makna maksud hadis-hadis itu, terpulanglah kepada masing-masing memahaminya, kerana boleh jadi orang yang menyampaikan sesebuah hadis itu tidak memahaminya atau kurang mendalaminya, meskipun demikian, ia berkewajipan juga menyebarkannya. Dalam pada itu, boleh jadi orang yang disampaikan kepadanya itu boleh memahami lebih mendalam dari orang yang menyampaikannya.

kredit 2: ISLAM GRID

Receive all updates via Facebook. Just Click the Like Button Below

Powered By Blogger Widgets


TUHANKU,AKULAH HAMBA YANG BODOH DALAM ILMU PENGETAHUAN KU INI,MAKA BAGAIMANA TAKKAN BODOH LAGI DALAM HAL-HAL YANG AKU MASIH BODOH LAGI DALAM HAL-HAL YANG AKU MASIH BODOH TIDAK MENGETAHUINYA.

air

TUHANKU, AJARKAN AKU DARI ILMU YANG LANGSUNG DAN MASIH TERSEMBUNYI DIDALAM PERBENDAHARAANMU DAN PELIHARALAH AKU DENGAN RAHSIA NAMAMU YANG TERPELIHARA.
TUHANKU, KELUARKANLAH AKU DARI KERENDAHAN DIRIKU(nafsuku)DAN BERSIHKAN AKU DARI KERAGUAN DAN SYIRIK SEBELUM MASUK KE LUBANG KUBURKU,BEBASKAN DIRIKU DARI TAWANAN HAWA NAFSUKU SERTA BERIKAN DAKU KEYAKINAN YANG DAPAT MENGHILANGKAN SEGALA RAGU DAN KESYIRIKKAN.
TUHANKU,BAGAIMANA AKAN DIHARAPKAN SESUATU SELAIN ENGKAU,PADAHAL ENGKAU TIDAK PERNAH MERUBAH KEBIASAAN PERTOLONGAN DAN KEBAIKKANMU DAN BAGAIMANA AKAN DIMINTA SELAIN DARI ENGKAU SEDANGKAN ENGKAU TIDAK PERNAH MERUBAH KEBIASAAN MEMBERI KURNIA.
TUHANKU,HARAPAN KU TIDAK PERNAH PUTUS DARIMU MESKI PUN AKU TELAH BERBUAT DOSA MAKSIAT, DEMIKIAN PULA RASA TAKUT KU PADAMU TIDAK HILANG MESKIPUN AKU TELAH TAAT DAN PATUH PADAMU.
TUHANKU,ENGKAULAH TUHAN YANG TIDAK ADA TUHAN KECUALI ENGKAU.


Hadits shahih, riwayat Abu Dawud no.2118, an-Nasa-I III/104-105, ad-Darimi II/142, Ahmad I/392-393, 432, ‘Abdurrazzaq no. 10449, ath-Thayalisi no. 338, al-Hakim II/182-183, al-Baihaqi VII/146 dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radiyallahuanhu. (Lihat Kutaib Khuthbatul Haajah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani Rahimullah).

Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Rasulullah Shallallah alaihi wa sallam, sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang-orang di sekelilingmu tersenyum.
Jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis.
Dunia ini umpama lautan yang luas. Kita adalah kapal yang belayar dilautan telah ramai kapal karam didalamnya..andai muatan kita adalah iman,dan layarnya takwa,nescaya kita akan selamat dari tersesat di lautan hidup ini.
Dari Hatim Al-Asom yang bermaksud:
Empat perkara yang hanya diketahui oleh empat jenis orang akan nilainya iaitu:
1. Nilai masa muda hanya diketahui oleh orang tua-tua.
2. Nilai kedamaian hanya diketahui oleh orang yang pernah ditimpa bencana.
3. Nilai kesihatan hanya diketahui oleh orang-orang sakit.
4. Nilai kehidupan hanya diketahui oleh orang-orang yang telah mati.
http://1.bp.blogspot.com/_vW1GG83Zr1U/SfXxhEwt2cI/AAAAAAAACjc/zNWg4-Bw5U4/s400/qaradawi.jpg
"Menggunakan internet untuk menyampaikan maklumat Islam,menyampaikan suara Islam dan memperlihatkan Islam merupakan satu jihad utama"Petikan Daripada Kitab Fikhul Jihad Karangan Prof.Dr.Sheikh Yusuf Al-Qardhawi
Search in the Quran
Search in the Quran:
in
Download Islamic Softwares FREE | Free Code
www.SearchTruth.com
Search in the Hadith
Search: in
Download Islamic Softwares FREE | Free Code
www.SearchTruth.com
atau,
Search in the Hadith
Search:
in
Download | Free Code
www.SearchTruth.com
10. Widget Pencarian ayat dan hadits Kodenya:
Search in Quran and Hadith

2 Pictures, Images and Photos
KLIK MONITOR UNTUK TV LIVE

 

Powered by BannerFans.com
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Image by FlamingText.com
Image by FlamingText.com > Apabila manusia memuliakanmu kerana harta dan kuasa, maka janganlah engkau berbangga kerana kemuliaan tadi akan hilang apabila hilang kedua-duanya. Akan tetapi hendaklah hendaklah engkau berbangga sekiranya manusia memuliakan mu kerana agama atau tingkah laku mu yang baik.

عن أبي جعفر عليه السلام قال: الصلاة عمود الدين، مثلها كمثل عمود الفسطاط إذا ثبت العمود ثبتت الاوتاد والاطناب، وإذا مال العمود وانكسر لم يثبت وتد ولا طنب.


Dari Abi Ja’far as berkata:


“Shalat adalah tiang agama, perumpamaannya seperti tiang kemah, bila tiangnya kokoh maka paku dan talinya akan kokoh, dan bila tiangnya miring dan patah maka paku dan talinya pun tidak akan tegak.”

قال النبي صلى الله عليه واله: علم الإسلام الصلاة فمن فرغ لها قلبه وحافظ عليها بحدها ووقتها وسننها فهو مؤمن.

“Bendera Islam adalah shalat, maka barangsiapa memberikan hatinya untuknya dan menjaganya dengan batasan dan waktunya serta sunah-sunnahnya maka ia adalah seorang mukmin (hakiki).”

قال النبي صلى الله عليه واله: موضع الصلاة من الدين كموضع الرأس من الجسد.

Rasulullah saw bersabda:

“Kedudukan shalat dari agama adalah seperti kedudukan kepala dari badan.”